Masjid Agung Jogjakarta 1895 |
Sememara itu, adanya pengenalan
agama Kristen dan perluasan kristenisasi yang terjadi bersamaan dengan
perluasan kekuasaan kolonial ke dalam masyarakat pribumi yang telah terlebih
dahulu terpengaruh oleh agama Islam, mengaburkan identitas politik yang melekat
pada penguasa kolonial dan identitas sosial -keagamaan pada usaha kristenisasi
di mata masyarakat umum.
Bagi sebagian besar penduduk
pribumi, tekanan politis, ekonomis, sosial, maupun kultural yang dialami oleh
masyarakat secara umum sebagai sesuatu yang identik dengan kemunculan orang
Islam dan kekuasaan kolonial yang menjadi penyebab kondisi tersebut tidak dapat
dipisahkan dari agama Kristen itu sendiri. Hal ini semakin diperburuk oleh
struktur yuridis formal masyarakat kolonial, yang secara tegas membedakan
kelompok masyarakat berdasarkan suku bangsa. Dalam stratifikasi masyarakat
kolonial; penduduk pribumi menempati posisi yang paling rendah, sedangkan
lapisan atas diduduki orang Eropa, kemudian orang Timur Asing, seperti: orang
Cina, Jepang, Arab, dan India.
Tidak mengherankan jika kebijakan
pemerintah kolonial ini tetap dianggap sebagai upaya untuk menempatkan orang
Islam pada posisi sosial yang paling rendah walaupun dalam lapisan sosial yang
lebih tinggi terdapat juga orang Arab yang beragama Islam. Di samping itu,
akhir abad XIX juga ditandai oleh terjadinya proses peng-urbanan yang cepat
sebagai akibat dari perkemhangan ekonomi, politik, dan sosial.
Kota-kota baru yang memiliki ciri
masing-masing sesuai dengan faktor pendukungnya muncul di banyak wilayah.
Perluasan komunikasi dan ransportasi mempermudah mobilitas penduduk. Sementara
itu pembukaan suatu wilayah sebagai pusat pemerintahan, pendidikan, industri,
dan perdagangan telah menarik banyak orang untuk datang ke tempat tersebut.
Sementara itu pula, tekanan ekonomi, politik, maupun sosial yang terjadi di
daerah pedesaan telah mendorong mereka datang ke kota-kota tersebut.
Memasuki awal abad XX sebagian besar
kondisi yang telah terbentuk sepanjang abad XIX terus berlangsung. Dalam
konteks ekonomi, perluasan aktivitas ekonomi sebagai dampak perluasan penanaman
modal swasta asing maupun perluasan pertanian rakyat belum mampu menimbulkan
perubahan ekonomi secara struktural sehingga kondisi hidup sebagian besar penduduk
masih tetap rendah. Di beberapa tempat penduduk pribumi memang berhasil
mengembangkan pertanian tanaman ekspor dlan mendapat keuntungan yang besar,
akan tetapi ekonomi mereka masih sangat labil terhadap perubahan pasar.
Perluasan aktivitas ekonomi
menimbulkan persaingan yang semakin besar sehingga para pengusaha industri
pribumi harus bersaing dengan produk impor yang lebih berkualitas dan lebih
murah di pasar lokal, sedangkan para peclagang pribumi juga harus bersaing
ketat dengan pedagang asing yang terus mendominasi perdagangan lokal, regional,
maupun internasional. Dalam perkembangan selanjutnya persaingan ini di beberapa
tempat tidak lagi hanya terbatas pada masalah ekonomi, melainkan juga telah
berkembang menjadi persoalan sosial, kultural, ataupun politik. Walaupun dalam
bidang politik terjadi pergeseran dari kekuasan administratif yang
tersentralisasi ke arah desentralisasi pada tingka t lokal, kontrol yang ketat
pejabat Belanda terhadap pejabat pribumi masih tetap berlangsung.
Sementara itu, kebijakan Politik
Balas Budi atau Politik Etis yang difokuskan pada bidang edukasi, irigasi, dan
kolonisasi yang dilaksanakan sejak dekade pertama abad XX, telah memberikan
kesempatan yang lebih luas kepada penduduk pribumi mengikuti pendidikan Barat
dibandingkan dengan masa sebelumnya melalui pembentukan beberapa lembaga
pendidikan khusus bagi penduduk pribumi sampai tingkat desa. Akan tetapi,
kesempatan ini tetap saja masih sangat terbatas jika dibandingkan dengan jumlah
penduduk pribumi secara keseluruhan.
Kesempatan itu masih tetap
diprioritaskan bagi kelompok elit penduduk pribumi, atau kesempatan yang ada
hanya terbuka untuk pendidikan rendah, sedangkan kesempatan untuk mengikuti
pendidikan menengah dan tinggi masih sangat terbatas. Seperti pada masa
sebelumnya, kondisi seperti ini terbentuk selain disebabkan oleh kebijakan
pemerintah kolonial, juga dilatarbelakangi sikap antipati dari kelompok Islam,
yang menjadi pendukung utama masyarakat pribumi terhadap pendidikan Barat itu
sendiri.
Secara umum mereka lebih suka
mengirimkan anak-anak mereka ke pesantren, atau hanya sekedar ke lembaga
pendidikan informal lain yang mengajarkan pengetahuan dasar agama Islam. Akan
tetapi, sebenarnya ada dualisme cara memandang pendidikan Barat ini. Di samping
dianggap sebagai perwujudan dari pengaruh Barat atau Kristen terhadap
lingkungan sosial dan budaya lokal maupun Islam, pendidikan Barat juga dilihat
secara objektif sebagai faktor penting untuk mendinamisasi masyarakat pribumi
yang mayoritas beragama Islam.
Pendidikan Barat yang telah
diperkenalkan kepada penduduk pribumi secara terbatas ini ternyata telah
menciptakan kelompok intelektual dan profesional yang mampu melakukan
perubahan-perubahan maupun memunculkan ide-ide baru di dalam masyarakat maupun
sikap terhadap kekuasaan kolonial. Perubahan dan pencetusan ide-ide baru itu
pada masa awal hanya terbatas pada bidang sosial, kultural, dan ekonomi, akan
tetapi kemudian mencakup juga permasalahan politik. Walaupun feodalisme dalam
sikap maupun struktur yang lebih makro di dalam masyarakat, khususnya di Jawa
masih tetap berlangsung, pembentukan “organisasi modern” merupakan salah satu
realisasi yang penting dari upaya perubahan dengan ide-ide baru tersebut.
Pada tahun 1908 organisasi Budi
Utomo didirikan oleh para mahasiswa sekolah kedokteran di Jakarta. Walaupun
dasar, tujuan, dan aktivitas Budi Utomo sebagai suatu organisasi masih terikat
pada unsur-unsur primordial dan terbatas, keberadaan Budi Utomo secara langsung
maupun tidak berpengaruh terhadap bentuk baru dari perjuangan kebangsaan
melawan kondisi yang diciptakan oleh kolonialisme Belanda. Berbagai organisasi
baru kemudian didirikan, dan perjuangan perlawanan terhadap kekuasaan kolonial
yang dulu terkosentrasi di kawasan pedesaan mulai beralih terpusat di daerah
perkotaan.
Dunia Islam dan Masyarakat Muslim
Indonesia Secara makro perkembangan dunia Islam pada akhir abad XIX dan awal
abad XX ditandai oleh usaha untuk melawan dominasi Barat setelah sebagian besar
negara yang penduduknya beragama Islam secara politik, sosial, ekonomi, maupun
budaya telah kehilangan kemerdekaan dan berada di bawah kekuasaan kolonialisme
dan imprialisme Barat sejak beberapa abad sebelumnya. Dalam masyarakat Muslim
sendiri muncul usaha untuk mengatasi krisis internal dalam proses sosialisasi
ajaran Islam, akidah, maupun pemikiran pada sebagian besar masyarakat, baik
yang disebabkan oleh dominasi kolonialisme dan imperialisme Barat, maupun
sebab-sebab lain yang ada dalam masyarakat Muslim itu sendiri.
Dalam kehidupan beragama ini terjadi
kemerosotan ruhul Ishmi, jika dilihat dari ajaran Islam yang bersumber pada
Quran dan Sunnah Rasulullah. Pengamalan ajaran Islam bercampur dengan bid’ah,
khurafat, dan syi’ah. Di samping itu, pemikiran umat Islam juga terbelenggu
oleh otoritas mazhab dan taqlid kepada para ulama sehingga ijtihad tidak
dilakukan lagi. Dalam pengajaran agama Islam, secara umum Qur’an yang menjadi
sumber ajaran hanya
diajarkan pada tingkat bacaan,
sedangkan terjamahan dan tafsir hanya boleh dipelajari oleh orang-orang tertentu
saja. Sementara itu, pertentangan yang bersumber pada masalah khilafiyah dan
firu’iyah sering muncul dalam masyarakat Muslim, akibatnya muncul berbagai
firqah dan pertentangan yang bersifat laten.
Di tengah-tengah kemerosotan itu,
sejak pertengahan abad XIX muncul ide-ide pemurnian ajaran dan kesadaran
politik di kalangan umat Islam melalui pemikiran dan aktivitas tokoh-tokoh
seperti: Jamaludin Al-Afgani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, dan para pendukung
Muhammad bin Abdul Wahab. Jamaludin Al-Afgani banyak bergerak dalam bidang
politik, yang diarahkan pada ide persaudaraan umat Islam sedunia dan gerakan
perjuangan pembebasan tanah air umat Islam dari kolonialisme Barat.
Sementara itu, Muhammad Abduh dan
muridnya, Rasyid Ridha, berusaha memerangi kestatisan, syirik, bid’ah,
khurafat, taqlid, dan membuka pintu ijtihad di kalangan umat Islam.
Restrukturisasi lembaga pendidikan Islam dan mewujudkan ide-ide ke dalam
berbagai penerbitan merupakan wujud usaha pemurnian dan pembaharuan yang
dilakukan oleh dua orang ulama dari Mesir ini. Rasyid Ridha, misalnya,
menerbitkan majalah Al-Manar di Mesir, yang kemudian disebarkan dan dikenal
secara luas di seluruh dunia Islam. Sementara itu, ide-ide pembaharuan yang
dikembangkan oleh pendukung Muhammad bin Abdlul Wahab dalam gerakan Al
Muwahhidin telah mendapat dukungan politis dari penguasa Arab Saudi sehingga
gerakan yang dikenal oleh para orientalis sebagai Wahabiyah itu berkembang
menjadi besar dan kuat.
Seperti
yang terjadi di dalam dunia Islam secara umum, Islam di Indonesia pada abad XIX
juga mengalami krisis kemurnian ajaran, kestatisan pemikiran maupun aktivitas,
dan pertentangan internal. Perjalanan historis penyebaran agama Islam di
Indonesia sejak masa awal melalui proses akulturasi dan sinkretisme, pada satu sisi
telah berhasil meningkatkan kuantitas umat Islam. Akan tetapi secara kualitas
muncul kristalisasi ajaran Islam yang menyimpang dari ajaran Islam yang murni.
Di Pulau Jawa, misalnya, persoalan
kemurnian ajaran Islam ini sangat terasa karena unsur-unsur lokal sangat
berpengaruh dalam proses sosialisasi ajaran di dalam masyarakat seperti yang
terlihat pada: sekaten, kenduri, tahlilan, dan wayang. Kondisi seperti ini
dapat dilihat pada laporan T.S. Raffles tentang Islam di Jawa pada awal abad
XIX, yang menyatakan bahwa orang Jawa yang berpengetahuan cukup tentang Islam
dan berprilaku sesuai dengan ajaran Islam hanya beberapa orang saja.
Selain itu, K.H. Ahmad Rifa’i, salah
seorang ulama di Jawa yang sangat disegani oleh pemerintah kolonial, pada
pertengahan abad XIX menyatakan bahwa pengamalan agama Islam orang Jawa banyak
menyimpang dari aqidah Islalamiyah dan harus diluruskan. Interaksi reguler
antara sekelompok masyarakat Muslim Indonesia dengan dunia Islam memberi
kesempatan kepada mereka untuk mempelajari dan memahami lebih dalam ajaran
Islam sehingga tidak mengherankan kemudian muncul ide-ide atau wawasan baru
dalam kehidupan beragama di dalam masyarakat Indonesia. Mereka mulai
mempertanyakan kemurnian dan implementasi ajaran Islam di dalam masyarakat. Oleh
sebab itu, di samping unsur-unsur lama yang terus bertahan seperti pemahaman
dan pengamalan ajar-an Islam yang sinkretik dan sikap taqlid terhadap ulama, di
dalam masyarakat Muslim Indonesia pada akhir abad XIX dan awal abad XX juga
berkembang kesadaran yang sangat kuat untuk melakukan pembaharuan dalam banyak
hal yang berhubungan dengan agama Islam yang telah berkembang di tengah-tengah
masyarakat.
Hal ini tentu saja menimbulkan
konflik antarkelompok, yang terpolarisasi dalam bentuk gerakan yang dikenal
sebagai “kaum tua” berhadapan dengan “kaum muda” atau antara kelompok
“pembaharuan” berhadapan dengan “antipembaharuan”. Sementara itu, krisis yang
terjadi di dalam Islam di Indonesia, selain disebabkan oleh dinamika internal
juga tidak dapat dipisahkan dengan perluasan kekuasaan pemerintah kolonial
Belanda. Islam sejak awal muncul sebagai kekuatan di balik perlawanan terhadap
kolonialisme, baik dalam pengertian idiologis maupun peran langsung para ulama
dan umat Islam secara keseluruhan. Hal ini dapat dilihat berbagai perlawanan
yang terjadi sepanjang abad XIX dan awal abad XX, seperti: Perang Diponegoro,
Perang Bonjol, Perang Aceh, dan protes-protes petani, yang semuanya diwarnai
oleh unsur Islam yang sangat kental.
Akibatnya, pemerintah kolonial
cenderung melihat Islam sebagai ancaman langsung dari eksistensi kekuasaan
kolonial ini. Setiap aktivitas yang berhubungan dengan Islam selalu dicurigai
dan dianggap sebagai langkah untuk melawan penguasa. Oleh sebab itu,
berdasarkan konsep yang dikembangkan oleh C. Snouck Hurgronje pada akhir abad
XIX pemerintah kolonial secara tegas memisahkan Islam dari politik, akan tetapi
Islam sebagai ajaran agama dan kegiatan sosial dibiarkan berkembang walaupun
tetap berada dalam pengawasan yang ketat. Kecurigaan pemerintah kolonial yang
berlebihan terhadap Islam ini membatasi kreativitas umat, baik dalam pengertian
ajaran, pemikiran, maupun penyesuaian diri dengan dinamika dan perubahan yang
terjadi dalam masyarakat secara umum.
Kondisi ini semakin diperburuk oleh
munculnya sikap taqlid kepada para ulama tertentu pada sebagian besar umat
Islam di Indonesia pada waktu itu. Pemerintah kolonial juga berusaha
mengeksploitasi perbedaan yang ada dalam masyarakat yang berhubungan dengan
Islam, seperti perbedaan sosio-antropologis antara kelompok santri dan abangan
yang menjadi konflik sosial berkepanjangan. Selain itu, aktivitas kristenisasi
yang dilakukan oleh missi Katholik maupun zending Protestan terhadap penduduk
pribumi yang telah beragama Islam terus berlangsung tanpa halangan dari
penguasa kolonial. Lembaga pendidikan dari tingkat dasar sampai menengah, panti
asuhan, dan rumah sakit yang didirikan oleh missi dan zending sebagai pendukung
utama dalam proses kristenisasi, secara reguler mendapat bantuan dana yang
besar dari pemerintah.
Ahmad Dahlan dan Pembentukan
Muhammmadiyah di tengah-tengah kondisi tidak menentu seperti yang digambarkan
di atas, Ahmad Dahlan muncul sebagai salah seorang yang perduli terhadap
kondisi yang sedang dihadapi masyarakat pribumi secara umum maupun masyarakat
Muslim secara khusus. Ahmad Dahlan lahir di Kampung Kauman Yogyakarta pacla
tahun 1868 dengan nama Muhammad Darwis. Ayahnya K.H. Abu Bakar adalah imam dan
khatib Masjid Besar Kauman Yogyakarta, sementara ibunya Siti Aminah adalah anak
K.H. Ibrahim, penghulu besar di Yogyakarta. Menurut salah satu silsilah,
keluarga Muhammad Darwis dapat dihubungkan dengan Maulana Malik Ibrahim, salah
seorang wali penyebar agama Islam yang dikenal di Pulau Jawa.
Sebagai anak keempat dari keluarga
K.H. Abubakar, Muhammad Darwis mempunyai 5 orang saudara perempuan dan I orang
saudara laki-laki. Seperti layaknya anak-anak di Kampung Kauman pada waktu itu
yang diarahkan pada pendidikan informal agama Islam, sejak kecil Muhammad
Darwis sudah belajar membaca Quran di kampung sendiri atau di tempat lain. Ia
belajar membaca Quran dan pengetahuan agama Islam pertama kali dari ayahnya
sendiri dan pada usia delapan tahun ia sudah lancar dan tamat membaca Quran.
Menurut cerita, sejak kecil Muhammad Darwis sudah menunjukkan beberapa
kelebihan dalam penguasaan ilmu, sikap, dan pergaulan sehari-hari dibandingkan
teman-temannya yang sebaya.
Ia juga mempunyai keahlian membuat
barang-barang kerajinan dan mainan. Seperti anak laki-laki yang lain,
Muhammad Darwis juga sangat senang bermain layang-layang dan gasing. Seiring
dengan perkembangan usia yang semakin bertambah, Muhammad Dalwis yang sudah
tumbuh remaja mulai belajar ilmu agama Islam tingkat lanjut, tidak hanya
sekedar membaca Quran. Ia belajar fiqh dari K.H. Muhammad Saleh dan belajar
nahwu dari K.H. Muhsin. Selain belajar dari dua guru di atas yang juga adalah
kakak iparnya, Muhammad Darwis belajar ilmu agama lslam lebih lanjut dari K.H.
Abdul Hamid di Lempuyangan dan KH. Muhammad Nur.
Muhammad Darwis yang sudah dewasa
terus belajar ilmu agama Islam maupun ilmu yang lain dari guru-guru yang lain,
termasuk para ulama di Arab Saudi ketika ia sedang menunaikan ibadah haji. Ia
pernah belajar ilmu hadist kepada Kyai Mahfudh Termas dan Syekh Khayat, belajar
ilmu qiraah kepada Syekh Amien dan Sayid Bakri Syatha, belajar ilmu falaq pada
K.H. Dahlan Semarang, dan ia juga pernah belajar pada Syekh Hasan tentang
mengatasi racun binatang. Menurut beberapa catatan, kemampuan intelektual
Muhammad Darwis ini semakin berkembang cepat dia menunaikan ibadah haji pertama
pada tahun 1890, beberapa bulan setelah perkawinannya dengan Siti Walidah pada
tahun 1889.
Proses sosialisasi dengan berbagai
ulama yang berasal dari Indonesia seperti: Kyai Mahfudh dari Termas, Syekh
Akhmad Khatib dan Syekh Jamil Jambek dari Minangkabau, Kyai Najrowi dari
Banyumas, dan Kyai Nawawi dari Banten, maupun para ulama dari Arab, serta
pemikiran baru yang ia pelajari selama bermukim di Mekah kurang lebih delapan
bulan, telah membuka cakrawala baru dalam diri Muhammad Darwis, yang telah
berganti nama menjadi Ahmad Dahlan. Perkembangan ini dapat dilihat dari
semakin, luas dan bervariasinya jenis kitab yang dibaca Ahmad Dahlan. Sebelum
menunaikan ibadah haji, Ahmad Dahlan lebih banyak mempelajari kitab-kitab, dari
Ahlussunnah waljamaah dalam ilmu aqaid, dari madzab Syafii dalam ilmu Fiqh dari
Imam Ghozali dan ilmu tasawuf.
Sesudah pulang dari menunaikan
ibadah haji, Ahmad Dahlan mulai membaca kitah-kitab lain yang belum pernah
dilakukan sebelumnya. Semangat membaca Ahmad Dahlan yang besar ini dapat
dilihat pada kejadian ketika ia membeli buku menggunakan sebagian dari modal
sebesar 1500 setelah ia pulang dari menunaikan ibadah haji yang pertama, yang
sebenarnya diberikan oleh keluarganya untuk berdagang. Sementara itu, keinginan
untuk memperdalam ilmu agama Islam terus muncul pada diri Ahmad Dahlan. Dalam
upaya untuk mewujudkan cita-citanya itu, ia menunaikan ibadah haji kedua pada
tahun 1903, dan bermukim di Mekah selama hampir dua tahun. Kesempatan ini
digunakan Ahmad Dahlan untuk belajar ilmu agama Islam baik dari para guru
ketika ia menunaikan ibadah haji pertama maupun dari guru-guru yang lain.
Ia belajar fiqh pada Syekh Saleh
Bafadal, Syekh Sa’id Yamani, dan Syekh Sa’ id Babusyel. Ahmad Dahlan belajar
ilmu hadist pada Mufti Syafi’i, sementara itu ilmu falaq dipelajari pada Kyai
Asy’ari Bawean. Dalam bidang ilmu qiruat, Ahmad Dahlan belajar dari Syekh Ali
Misri Makkah. Selain itu, selama bermukim di Mekah ini Ahmad Dahlan juga secara
reguler mengadakan hubungan dan membicarakan berbagai masalah sosial-keagamaan,
termasuk masalah yang terjadi di Indonesia dengan para Ulama Indonesia yang
telah lama bermukim di Arab Saudi, seperti: Syekh Ahmad Khatib dari
Minangkabau, Kyai Nawawi dari Banten, Kyai Mas Abdullah dari Surabaya, dan Kyai
Fakih dari Maskumambang.
Berdasarkan koleksi buku-buku yang
ditinggalkan oleh Ahmad Dahlan, sebagian besar adalah buku yang dipengaruhi
ide-ide pembaharuan. Di antara buku-buku yang sering dibaca Ahmad Dahlan antara
lain: Kosalatul Tauhid karangan Muhammad Abduh, Tafsir Juz Amma karangan
Muhammad Abduh, Kanz AL-Ulum, Dairah Al Ma’arif karangan Farid Wajdi, Fi Al
-Bid’ah karangan Ibn Taimiyah, Al Tawassul wa-al-Wasilah karangan Ibn Taimiyah,
Al-Islam wa-l-Nashraniyah karangan Muhammad Abduh, Izhar al-Haq karangan Rahmah
al Hindi, Tafsshil al-Nasyatain Tashil al Sa’adatain, Matan al-Hikmah karangan
Atha Allah, dan Al-Qashaid al-Aththasiyvah karangan Abd al Aththas.
Pengalaman Ahmad Dahlan mengajar
agama Islam di dalam masyarakat dimulai setelah ia pulang dari menunaikan
ibadah haji pertama. Ahmad Dahlan mulai dengan membantu ayahnya mengajar para
murid yang masih kanak-kanak dan remaja. Dia mengajar pada siang hari sesudah
dzuhur, dan malam hari, antara maghrib sampai isya. Sementara itu, sesudah
ashar Ahmad Dahlan mengikuti ayahnya yang mengajar agama Islam kepada
orang-orang tua. Apabila ayahnya berhalangan, Ahmad Dahlan menggantikan ayahnya
memberikan pelajaran sehingga akhirnya ia mendapat sebutan kyai, sebagai pengakuan
terhadap kemampuan dan pengalamannya yang luas dalam memberikan pelajaran agama
Islam.
Sebagai
Khatib Amin, Ahmad Dahlan sangat dipengaruhi oleh pengetahuan agama Islam yang
dimiliki, pengalaman berinteraksi dengan berbagai kelompok dalam dunia Islam,
serta pengalamannya memberi pelajaran agama Islam selama ini sehingga sering
muncul ide dan aktivitas baru. Berbeda dengan para khatib lain yang cenderung
menghabiskan waktu begitu saja ketika sedang bertugas piket di serambi masjid
besar Kauman, Ahmad Dahlan secara rutin memberikan pelajaran agama Islam kepada
orang-orang yang datang ke masjid besar ketika ia sedang melakukan piket.
Ahmad Dahlan juga mulai menyampaikan
ide-ide baru yang lebih mendasar, seperti persoalan arah kiblat salat yang
sebenarnya. Akan tetapi, ide baru ini tidak begitu saja bisa dilaksanakan
seperti yang diajarkan di serambi masjid besar karena mempersoalkan arah kiblat
salat merupakan suatu hal yang sangat peka pada waktu itu. Ahmad Dahlan
memerlukan waktu hampir satu tahun untuk menyampaikan masalah ini. Itu pun
hanya terbatas pada para ulama yang sudah dikenal dan dianggap sepaham di
sekitar Kampung Kauman. Pada satu malam pada tahun 1898, Ahmad Dahlan
mengundang 17 orang ulama yang ada di sekitar kota Yogyakarta untuk melakukan
musyawarah tentang arah kiblat di surau milik keluarganya di Kauman.
Diskusi antara para ulama yang telah
mempersiapkan diri dengan berbagai kitab acuan ini berlangsung sampai waktu
subuh, tanpa menghasilkan kesepakatan. Akan tetapi, dua orang yang secara
diam-diam mendengar pembicaraan itu beberapa hari kemudian membuat tiga garis
putih setebal 5 cm di depan pengimaman masjid besar Kauman untuk mengubah arah
kiblat sehingga mengejutkan para jemaah salat dzuhur waktu itu. Akibatnya,
Kanjeng Kyai Penghulu H.M. Kholil Kamaludiningrat memerintahkan untuk menghapus
tanda tersebut dan mencari orang yang melakukan itu.
Sebagai realisasi dari ide
pembenahan arah kiblat tersebut, Ahmad Dahlan yang merenovasi surau milik
keluarganya pada tahun 1899 mengarahkan surau tersebut ke arah kiblat yang
sebenarnya, yang tentu saja secara arsitektural berbeda dengan arah masjid
besar Kauman. Setelah dipergunakan beberapa hari untuk kegiatan Ramadhan, Ahmad
Dahlan mendapat perintah dari Kanjeng Penghulu untuk membongkar surau tersebut,
yang tentu saja ditolak. Akhirnya, surau tersebut dibongkar secara paksa pada
malam hari itu juga. Walaupun diliputi perasaan kecewa, Ahmad Dahlan membangun
kembali surau tersebut sesuai dengan arah masjid besar Kauman setelah berhasil
dibujuk oleh saudaranya, sementara arah kiblat yang sebenarnya ditandai dengan
membuat garis petunjuk di bagian dalam masjid.
Setelah pulang dari menunaikan
ibadah haji kedua, aktivitas sosial-keagamaan Ahmad Dahlan di dalam masyarakat
di samping sebagai Khatib Amin semakin berkembang. Ia membangun pondok untuk
menampung para murid yang ingin belajar ilmu agama Islam secara umum maupun
ilmu lain seperti: ilmu falaq, tauhid, dan tafsir. Para murid itu tidak hanya
berasal dari wilayah Residensi Yogyakarta, melainkan juga dari daerah lain di
Jawa Tengah. Walaupun begitu, pengajaran agama Islam melalui pengajian
kelompok bagi anak- anak, remaja, dan orang tua yang telah lama berlangsung
masih terus dilaksanakan. Di samping itu, di rumahnya Ahmad Dahlan mengadakan
pengajian rutin satu minggu atau satu bulan sekali bagi kelompok-kelompok
tertentu, seperti pengajian untuk para guru dan pamong praja yang berlangsung
setiap malam Jum`at.
Pembentukan ide-ide dan aktivitas
baru pada diri Ahmad Dahlan tidak dapat dipisahkan dari proses sosialisasi
dirinya sebagai pedagang dan ulama serta dengan alur pergerakan sosial-
keagamaan, kultural, dan kebangsaan yang sedang berlangsung di Indonesia pada
awal abad XX. Sebagai seorang pedagang sekaligus ulama, Ahmad Dahlan sering
melakukan perjalanan ke berbagai tempat di Residensi Yogyakarta maupun daerah
lain seperti: Periangan, Jakarta, Jombang, Banyuwangi, Pasuruan, Surabaya,
Gresik, Rembang, Semarang, Kudus, Pekalongan, Purwokerto, dan Surakarta. Di
tempat-tempat itu ia bertemu dengan para ulama, pemimpin lokal, maupun kaum
cerdik cendekia lain, yang sama-sama menjadi pedagang atau bukan.
Dalam pertemuan-pertemuan itu mereka
berbicara tentang masalah agama Islam maupun masalah umum yang terjadi dalam
masyarakat, terutama yang secara langsung berhubungan dengan kemunculan,
kestatisan, atau keterbelakangan penduduk Muslim pribumi di tengah- tengah
masyarakat kolonial. Dalam konteks pergerakan sosial keagamaan, budaya, dan
kebangsaan, hal ini dapat diungkapkan dengan adanya interaksi personal maupun
formal antara Ahmad Dahlan dengan organisasi seperti : Budi Utomo, Sarikat
Islam, dan Jamiat Khair, maupun hubungan formal antara organisasi yang ia
cirikan kemudian, terutama dengan Budi Utomo.
Secara personal Ahmad Dahlan
mengenal organisasi Budi Utomo melalui pembicaraan atau diskusi dengan
Joyosumarto, seorang anggota Budi Utomo di Yogyakarta yang mempunyai hubungan
dekat dengan dr. Wahidin Sudirohusodo, salah seorang pimpinan Budi Utomo yang
tinggal di Ketandan Yogyakarta. Melalui Joyosumarto ini kemudian Ahmad Dahlan
berkenalan dengan dr. Wahidin Sudirohusodo secara pribadi dan sering menghadiri
rapat anggota maupun pengurus yang diselenggarakan oleh Budi Utomo di
Yogyakarta walaupun secara resmi ia belum menjadi anggota organisasi ini. Setelah
banyak mendengar tentang aktivitas dan tujuan organisasi Budi Utomo melalui
pembicaraan pribadi dan kehadirannya dalam pertemuan -pertemuan resmi, Ahmad
Dahlan kemudian secara resmi menjadi anggota Budi Utomo pada tahun 1909.
Dalam perkembangan selanjutnya,
Ahmad Dahlan tidak hanya menjadi anggota biasa, melainkan ia menjadi pengurus
kring Kauman dan salah seorang komisaris dalam kepengurusan Budi Utomo Cabang
Yogyakarta. Sementara itu, pada sekitar tahun 1910 Ahmad Dahlan juga menjadi
anggota Jamiat Khair, organisasi Islam yang banyak bergerak dalam bidang
pendidikan dan mayoritas anggotanya adalah orang-orang Arab. Keterlibatan
secara langsung di dalam Budi Utomo memberi pengetahuan yang banyak kepada
Ahmad Dahlan tentang cara berorganisasi dan mengatur organisasi secara modern.
Sementara itu, walaupun Ahmad Dahlan
tidak terlibat secara aktif di dalam Jamiat Khair, selain belajar berorganisasi
secara modern di kalangan orang Islam, ia juga mendapat pengetahuan tentang
kegiatan sosial, terutama yang berhubungan dengan pendirian dan pengelolaan
lembaga pendidikan model sekolah. Semua ini tentu saja merupakan suatu hal yang
baru dan sangat berpengaruh bagi langkah-langkah yang dilakukan Ahmad Dahlan
pada masa selanjutnya, seperti pendirian sekolah model Barat maupun pembentukan
satu
organisasi.
Sebagai pengurus Budi Utomo,
aktivitas Ahmad Dahlan tidak hanya terbatas pada hal-hal yang berhubungan
langsung dengan masalah organisasi. Ia sering memanfaatkan forum pertemuan
pengurus maupun anggota Budi Utomo sebagai tempat untuk menyampaikan informasi
tentang agama Islam, bidang yang sangat ia kuasai. Kegiatan ini biasanya
dilakukan setelah acara resmi selesai. Kepiawaian Ahmad Dahlan dalam
menyampaikan informasi tentang agama Islam dalam berbagai pertemuan informal
itu telah menarik perhatian para pengurus maupun anggota Budi Utomo yang
sebagian besar terdiri dari pegawai pemerintah dan guru sehingga sering terjadi
diskusi yang menarik di antara mereka tentang agama Islam.
Di antara pengurus dan anggota Budi
Utomo yang tertarik pada masalah agama Islam adalah R. Budiharjo dan R.
Sosrosugondo, yang pada saat itu menjabat sebagai guru di Kweekschool Jetis.
Melalui jalur dua orang guru ini Ahmad Dahlan mendapat kesempatan mengajar
agama Islam kepada para siswa Kweekschool Jetis, setelah kepala sekolah setuju
dan memberikan izin. Pelajaran agama Islam di sekolah guru milik
pemerintah itu diberikan di luar jam pelajaran resmi, yang biasanya dilakukan
pada setiap hari Sabtu sore.
Dalarn mengajarkan pengetahuan agama
Islam secara umum maupun membaca Quran, Ahmad Dahlan menerapkan metode
pengajaran yang disesuaikan dengan kemampuan siswa sehingga mampu menarik
perhatian para siswa untuk menekuninya. Tentu saja sebagian siswa merasa bahwa
waktu pelajaran agama Is1am pada hari Sabtu sore itu belum cukup. Oleh sebab
itu, beberapa orang siswa, termasuk mereka yang belum beragama Islam sering
datang ke rumah Ahmad Dahlan di Kauman pada hari Ahad untuk bertanya maupun
melakukan diskusi lebih lanjut tentang berbagai persoalan yang berhubungan
dengan agama Islam.
Dalam perkembangan selanjutnya,
pengalaman berorganisasi di Budi Utomo dan Jamiat Khair memberikan pelajaran
kepada siswa Kweekschool dan didukung oleh perkembangan pendapat masyarakat
umum pada waktu itu yang mulai menyadari bahwa pendidikan merupakan salah satu
sarana yang penting bagi kemajuan penduduk pribumi. Oleh karena itu, Ahmad
Dahlan secara pribadi mulai merintis pembentukan sebuah sekolah yang memadukan
pengajaran ilmu agama Islam dan ilmu umum. Dalam berbagai kesempatan Ahmad
Dahlan menyampaikan ide pendirian sekolah yang mengacu pada metode pengajaran
seperti yang berlaku pada sekolah milik pemerintah kepada berbagai pihak,
termasuk kepada para santri yang belajar di Kauman maupun penduduk Kauman
secara umum. Sebagian besar dari mereka bersikap acuh tak acuh, bahkan ada yang
secara tegas menolak ide pendidikan sistem sekolah tersebut karena dianggap
bertentangan dengan tradisi dalam agama Islam.
Akibatnya,
para santri yang selama ini belajar kepada Ahmad Dahlan satu per-satu berhenti.
Walaupun belum mendapat dukungan dari masyarakat sekitarnya, Ahmad Dahlan tetap
berkeinginan untuk mendirikan lembaga pendidikan yang menerapkan model sekolah
yang mengajarkan ilmu agama Islam maupun ilmu pengetahuan umum. Sekolah tersebut
dimulai dengan 8 orang siswa, yang belajar di ruang tamu rumah Ahmad Dahlan
yang berukuran 2,5 m x 6 m dan ia bertindak sendiri sebagai guru. Keperluan
belajar dipersiapkan sendiri oleh Ahmad Dahlan dengan memanfaatkan dua buah
meja miliknya sendiri. Sementara itu, dua buah bangku tempat duduk para siswa
dibuat sendiri oleh Ahmad Dahlan dari papan bekas kotak kain mori dan papan
tulis dibuat dari kayu suren.
Delapan orang siswa pertama itu
merupakan santrinya yang masih setia, serta anak-anak yang masih mempunyai
hubungan keluarga dengan Ahmad Dahlan. Pendirian sekolah tersebut ternyata
tidak mendapat sambutan yang baik dari masyarakat sekitarnya kecuali beberapa
orang pemuda. Pada tahap awal proses belajar mengajar belum berjalan dengan
lancar. Selain ada penolakan dan pemboikotan masyarakat sekitarnya, para siswa
yang hanya berjumlah 8 orang itu juga sering tidak masuk sekolah. Untuk
mengatasi hal tersebut, Ahmad Dahlan tidak segan-segan datang ke rumah para
siswanya dan meminta mereka masuk sekolah kembali, di samping ia terus mencari
siswa baru. Seiring dengan pertambahan jumlah siswa, Ahmad Dahlan juga menambah
meja dan bangku satu per satu sehingga setelah berlangsung enam bulan jumlah
siswa menjadi 20 orang.
Ketika pendirian sekolah tersebut
dibicarakan dengan anggota dan pengurus Budi Utomo serta para siswa dan guru
Kweekschool Jetis, Ahmad Dahlan mendapat dukungan yang besar. Di antara para
pendukung itu adalah : Mas Raji yang menjadi siswa, R. Sosro Sugondo, dan R.
Budiarjo yang menjadi guru di Kweekschool Jetis sangat membantu Ahmad Dahlan
mengembangkan sekolah tersebut sejak awal.
R. Budiharjo yang bersama-sama Ahmad
Dahlan menjadi pengurus Budi Utomo Yogyakarta banyak memberikan Saran tentang
penyelenggaraan sebuah sekolah sesuai dengan pengalamannya menjadi kepala
sekolah di Kweekschool Jetis. Ia juga menyarankan kepada Ahmad Dahlan untuk
meminta subsidi kepada pemerintah jika sekolah yang didirikan itu sudah
teratur, dengan dukungan dari Budi Utomo. Selain itu, pendirian sekolah itu
juga mendapat dukungan dari kelompok terpelajar yang berasal dari luar Kauman
serta para siswa Kweekschool Jetis yang biasa datang ke rumahnya pada setiap
hari Ahad.
Sebagai realisasi dari dukungan Budi
Utomo, organisasi ini menempatkan Kholil, seorang guru di Gading untuk mengajar
ilmu pengetahuan umum pada sore hari di sekolah yang didirikan Ahmad Dahlan.
Oleh sebab itu, para siswa masuk dua kali dalam satu hari karena Ahmad Dahlan
mengajar ilmu pengetahuan agama Islam pada pagi hari. Walaupun masih mendapat
tantangan dari beberapa pihak, jumlah siswa terus bertambah sehingga Ahmad
Dahlan harus memindahkan ruang belajar ke tempat yang lebih luas di serambi
rumahnya.
Akhirnya setelah proses belajar
mengajar semakin teratur, sekolah yang didirikan oleh Ahmad Dahlan itu
diresmikan pada tanggal 1 Desember 1911 dan diberi nama Madrasah Ibtidaiyah
Diniyah Islamiyah. Ketika diresmikan, sekolah itu mempunyai 29 orang siswa dan
enam bulan kemudian dilaporkan bahwa terdapat 62 orang siswa yang belajar di
sekolah itu. Sebagai lembaga pendidikan yang baru saja terbentuk, sekolah yang
didirikan oleh Ahmad Dahlan memerlukan perhatian lebih lanjut agar dapat terus
dikembangkan. Dalam kondisi seperti itu, pengalaman Ahmad Dahlan berorganisasi
dalam Budi Utomo dan Jamiat Khair menjadi suatu hal yang sangat penting bagi
munculnya ide dan pembentukan satu organisasi untuk mengelola sekolah tersebut,
di samping kondisi makro pada saat itu yang telah menimbulkan kesadaran akan
arti penting suatu organisasi modern maupun masukan yang didapat dari para
pendukung, termasuk dari para murid Kweekschool Jetis.
Salah seorang siswa kweekschool yang
biasa datang ke rumah Ahmad Dahlan pada hari Ahad, misalnya, menyarankan agar
sekolah tersebut tidak hanya diurus oleh Ahmad Dahlan sendiri melainkan dilakukan
oleh suatu organisasi supaya sekolah itu dapat terus berlangsung walaupun Ahmad
Dahlan tidak lagi terlibat di dalamnya atau setelah ia meninggal. Ide
pembentukan organisasi itu kemudian didiskusikan lebih lanjut dengan
orang-orang yang selama ini telah mendukung pembentukan dan pelaksanaan sekolah
di Kauman, terutama para anggota dan pengurus Budi Utomo serta guru dan murid
Kweekschool Jetis.
Dalam satu kesempatan untuk
mendapatkan dukungan dalam rangka merealisasi ide pembentukan sebuah
organisasi, Ahmad Dahlan melakukan pembicaraan dengan Budiharjo yang menjadi
kepala sekolah di Kweekschool Jetis dan R. Dwijosewoyo, seorang aktivis Budi
utomo yang sangat berpengaruh pada masa itu. Pembicaraan tersebut tidak hanya
terbatas pada upaya mencari dukungan, melainkan juga sudah difokuskan pada
persoalan nama, tujuan, tempat kedudukan, dan pengurus organisasi yang akan
dibentuk. Berdasarkan pembicaraan-pembicaraan yang dilakukan didapatkan
beberapa ha1 yang berhubungan secara langsung dengan rencana pembentukan sebuah
organisasi. Pertama, perlu didirikan sebuah organisasi baru di Yogyakarta.
Kedua, para siswa Kweekschool tetap akan mendukung Ahmad Dahlan, akan tetapi
mereka tidak akan menjadi pengurus organisasi yang akan didirikan karena adanya
larangan dari inspektur kepala dan anjuran agar pengurus supaya diambil dari
orang-orang yang sudah dewasa. Ketiga, Budi Utomo akan membantu pendirian
perkumpulan baru tersebut. Pada bulan-bulan akhir tahun 1912 persiapan pembentukan
sebuah perkumpulan baru itu dilakukan dengan lebih intensif, melalui
pertemuan-pertemuan yang secara ekplisit membicarakan dan merumuskan masalah
seperti nama dan tujuan perkumpulan, serta peran Budi Utomo dalam proses
formalitas yang berhubungan dengan pemerintah Hindia Belanda.
Walaupun secara praktis organisasi
yang akan dibentuk bertujuan untuk mengelola sekolah yang telah dibentuk lebih
dahulu, akan tetapi dalam pembicaraan-pembicaraan yang dilakukan selanjutnya
tujuan pembentukan organisasi itu berkembang lebih luas, mencakup penyebaran
dan pengajaran agama Islam secara umum serta aktivitas sosial lainnya. Anggaran
dasar organisasi ini dirumuskan dalam bahasa Belanda dan bahasa Melayu, yang
dalam penyusunannya mendapat bantuan dari R. Sosrosugondo, guru bahasa Melayu
di Kweekscbool Jetis.
Organisasi yang akan dibentuk itu
diberi nama “Muhammadiyah”, nama yang berhubungan dengan nama nabi terakhir
Muhammad SAW.”‘ Berdasarkan nama itu diharapkan bahwa setiap anggota
Muhammadiyah dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat dapat menyesuaikan diri
dengan pribadi Nabi Muhammad SAW dan Muhammadiyah menjadi organisasi akhir
zaman. Sementara itu, Ahmad Dahlan berhasil mengumpulkan 6 orang dari Kampung
Kauman, yaitu: Sarkawi, Abdulgani, Syuja, M. Hisyam, M. Fakhruddin, dan M.
Tamim untuk menjadi anggota Budi Utomo dalam rangka mendapat dukungan formal
Budi Utomo dalam proses permohonan pengakuan dari Pemerintah Hindia Belanda
terhadap pembentukan Muhammadiyah.
Setelah seluruh persiapan selesai,
berdasarkan kesepakatan bersama dan setelah melakukan shalat istikharah
akhirnya pada tanggal 18 November 1912 M atau 8 Dzulhijjah 1330 H persyarikatan
Muhammadiyah didirikan. Dalam kesepakatan itu juga ditetapkan bahwa Budi Utomo
Cabang Yogyakarta akan membantu mengajukan permohonan kepada Pemerintah Hindia
Belanda agar pembentukan Muhammadiyah diakui secara resmi sebagai sebuah badan
hukum. Pada hari Sabtu malam, tanggal 20 Desember 1912, pembentukan
Muhammadiyah diumumkan secara resmi kepada masyarakat dalam suatu pertemuan
yang dihadiri oleh tokoh masyarakat, pejabat pemerintah kolonial, maupun para
pejabat dan kerabat Kraton Kasultanan Yogyakarta maupun Kadipaten Pakualaman.
Pada
saat yang sama, Muhammadiyah yang dibantu oleh Budi Utomo secara resmi
mengajukan permohonan kepada Pemerintah Hindia Belanda untuk mengakui
Muhammadiyah sebagai suatu badan hukum. Menurut anggaran dasar yang diajukan
kepada pemerintah pada waktu pendirian, Muhammadiyah merupakan organisasi yang
bertujuan menyebarkan pengajaran agama Nabi Muhammad SAW kepada penduduk
bumiputra di Jawa dan Madura serta memajukan pengetahuan agama para anggotanya.
Pada waktu itu terdapat 9 orang pengurus inti, yaitu: Ahmad Dahlan sebagai
kctua, Abdullah Sirat sebagai sekretaris, Ahmad, Abdul Rahman, Sarkawi,
Muhammad, Jaelani, Akis, dan Mohammad Fakih sebagai anggota. Sementara itu,
para anggota hanya dibatasi pada penduduk Jawa dan Madura yang beragama Islam.
(Sumber: Muhammadiyah.or.id)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar