Minggu, 31 Mei 2015

Sekolah Desa (Volksschool)




Pada tahun 1907 didirikanlah Sekolah Desa, yang akan menyebarkan cahaya di seluruh Nusantara untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk. Menurut Gouverneur Generaal Hindia Belanda Van Heutsz pendidikan menempati tempat yang paling penting diantara ketiga tujuan Politik Etis: emigrasi, pendidikan dan irigasi. Sekolah Desa diprakarasi oleh Van Heutz setelah melihat percobaan De Bruyn Prince, asisten residen Ambarawa (1890 – 1894) yang mendirikan 100 sekolah di berbagai desa. 
 
Van Heutsz
Tipe Sekolah Desa dianggap sangat cocok oleh Van Heutsz dengan alasan:

1. Sekolah ini murah dan dapat didirikan berdasarkan gotong-royong, tanpa pembiayaan sedikitpun dari pemerintah.

2. Sekolah ini menjadi bagian integral dari masyarakat desa yang  memandangnya sebagai miliknya.

3. Kurikulum sekolah ini tidak akan mengasingkan anak dari kehidupan agraris desanya.



Pelajaran di Sekolah Desa meliputi: membaca, menulis dan berhitung dalam bahasa Jawa, selain itu diajarkan juga pekerjaan tangan membuat keranjang, pot, genteng dan lain-lain. Tempat belajar Sekolah Desa untuk sementara menggunakan pendopo balai desa, sambil mendirikan sekolah yang sebenarnya dengan bantuan murid-murid. Guru Sekolah Desa diambil dari kalangan penduduk sendiri, juru tulis desa sudah dianggap kompeten untuk mengajar. Guru-guru itu menerima sebidang tanah sebagai sumber penghasilan dan tambahan penghasilan dengan menjual hasil pekerjaan tangan murid.


Sekolah Desa masih sangat primitif, anak-anak  duduk di lantai dengan kaleng kosong yang diperoleh Cuma-Cuma dari warung Cina untuk dijadikan  meja tulis. Di dekat Sekolah Desa terdapat sebidang tanah yang dipagari, tempat anak-anak yang menggembalakan kerbau dapat menyimpan kerbaunya selama mereka belajar dan diawasi oleh seorang dewasa. Jam pelajaran Sekolah Desa pukul 09.00 – 12.00 dan pukul 13.00 – 15.00. Pada tahun 1910 populasi Sekolah Desa 70.000 dan tahun 1914 meningkat menjadi 300.000 dengan peningkatan jumlah murid rata-rata 40.000 murid tiap tahun di seluruh Hindia Belanda.

Sekolah Desa di perkebunan kina Tjinjiroean Jawa Barat
Kurikulum Sekolah Desa sangat sederhana misalnya sebagaimana di Aceh,  Kelas 1: membaca dan menulis bahasa Melayu dengan huruf latin, bercapak-cakap dan berhitung 1 -20. Kelas 2: lanjutan membaca dan menulis dengan huruf latin dan Arab, dikte dalam kedua macam tulisan itu. Kelas 3: ulangan, berhitung diatas 100 dan pecahan sederhana.


Pada pekembangan selanjutnya keberhasilan sekolah Desa disebabkan bantuan sepenuhnya dari berbagai instansi dan tokoh-tokoh pemerintah. Dalam prinsipnya rakyat tak boleh dipaksa untuk mendirikan gedung sekolah. Seorang inspektur khusus berpangkat asisten residen diangkat untuk mengawasi Sekolah Desa ini.

Sekolah Desa di Kedoe Jawa Tengah tahun 1910
Sekolah Desa sering dikecam karena kurikulumnya yang sederhana, mutu guru dan pendidikannya yang rendah.  Namun, sekolah ini mempunyai keuntungan dalam menambah orang melek huruf di desa menjadi sesuatu yang langka pada jaman itu. Sekolah Desa membawa pendidikan formal sampai ke tiap desa kecil yang terpencil dan menjadi penyebar pemikiran dan pengetahuan barat. Sekolah Desa mendorong kesadaran rakyat akan pentingnya pendidikan sekolah. Ditinjau dari pemerintahan Hindia Belanda, Sekolah Desa merupakan usaha pendidikan terbesar yang pernah dilakukan untuk memberikan kesempatan besar kepada rakyat negeri jajahan untuk belajar membaca, menulis dan berhitung.



Sumber tulisan:  Nasution, S. 2008. Sejarah Pendidikan Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara.

Sumber gambar: Collectie Troppen Museum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar