Pada tahun 1907 didirikanlah
Sekolah Desa, yang akan menyebarkan cahaya di seluruh Nusantara untuk
meningkatkan kesejahteraan penduduk. Menurut Gouverneur Generaal Hindia Belanda
Van Heutsz pendidikan menempati tempat yang paling penting diantara ketiga
tujuan Politik Etis: emigrasi, pendidikan dan irigasi. Sekolah Desa diprakarasi
oleh Van Heutz setelah melihat percobaan De Bruyn Prince, asisten residen
Ambarawa (1890 – 1894) yang mendirikan 100 sekolah di berbagai desa.
Van Heutsz |
Tipe Sekolah Desa dianggap sangat cocok oleh Van Heutsz
dengan alasan:
1. Sekolah ini murah
dan dapat didirikan berdasarkan gotong-royong, tanpa pembiayaan sedikitpun dari
pemerintah.
2. Sekolah ini
menjadi bagian integral dari masyarakat desa yang memandangnya sebagai
miliknya.
3. Kurikulum
sekolah ini tidak akan mengasingkan anak dari kehidupan agraris desanya.
Pelajaran di
Sekolah Desa meliputi: membaca, menulis dan berhitung dalam bahasa Jawa, selain
itu diajarkan juga pekerjaan tangan membuat keranjang, pot, genteng dan
lain-lain. Tempat belajar Sekolah Desa untuk sementara menggunakan pendopo balai
desa, sambil mendirikan sekolah yang sebenarnya dengan bantuan murid-murid.
Guru Sekolah Desa diambil dari kalangan penduduk sendiri, juru tulis desa sudah
dianggap kompeten untuk mengajar. Guru-guru itu menerima sebidang tanah sebagai
sumber penghasilan dan tambahan penghasilan dengan menjual hasil pekerjaan
tangan murid.
Sekolah Desa
masih sangat primitif, anak-anak duduk
di lantai dengan kaleng kosong yang diperoleh Cuma-Cuma dari warung Cina untuk dijadikan meja tulis. Di dekat Sekolah Desa terdapat
sebidang tanah yang dipagari, tempat anak-anak yang menggembalakan kerbau dapat
menyimpan kerbaunya selama mereka belajar dan diawasi oleh seorang dewasa. Jam
pelajaran Sekolah Desa pukul 09.00 – 12.00 dan pukul 13.00 – 15.00. Pada tahun
1910 populasi Sekolah Desa 70.000 dan tahun 1914 meningkat menjadi 300.000
dengan peningkatan jumlah murid rata-rata 40.000 murid tiap tahun di seluruh
Hindia Belanda.
Sekolah Desa di perkebunan kina Tjinjiroean Jawa Barat |
Kurikulum
Sekolah Desa sangat sederhana misalnya sebagaimana di Aceh, Kelas 1: membaca dan menulis bahasa Melayu
dengan huruf latin, bercapak-cakap dan berhitung 1 -20. Kelas 2: lanjutan membaca
dan menulis dengan huruf latin dan Arab, dikte dalam kedua macam tulisan itu.
Kelas 3: ulangan, berhitung diatas 100 dan pecahan sederhana.
Pada pekembangan
selanjutnya keberhasilan sekolah Desa disebabkan bantuan sepenuhnya dari
berbagai instansi dan tokoh-tokoh pemerintah. Dalam prinsipnya rakyat tak boleh
dipaksa untuk mendirikan gedung sekolah. Seorang inspektur khusus berpangkat
asisten residen diangkat untuk mengawasi Sekolah Desa ini.
Sekolah Desa di Kedoe Jawa Tengah tahun 1910 |
Sekolah Desa
sering dikecam karena kurikulumnya yang sederhana, mutu guru dan pendidikannya
yang rendah. Namun, sekolah ini
mempunyai keuntungan dalam menambah orang melek huruf di desa menjadi sesuatu
yang langka pada jaman itu. Sekolah Desa membawa pendidikan formal sampai ke
tiap desa kecil yang terpencil dan menjadi penyebar pemikiran dan pengetahuan
barat. Sekolah Desa mendorong kesadaran rakyat akan pentingnya pendidikan sekolah.
Ditinjau dari pemerintahan Hindia Belanda, Sekolah Desa merupakan usaha
pendidikan terbesar yang pernah dilakukan untuk memberikan kesempatan besar kepada
rakyat negeri jajahan untuk belajar membaca, menulis dan berhitung.
Sumber tulisan: Nasution, S.
2008. Sejarah Pendidikan Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara.
Sumber gambar: Collectie Troppen Museum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar